Majalah Foreign Policy menilai pemerintah Turki telah menempatkan dirinya dalam situasi yang melebihi kemampuan negaranya dengan sepenuhnya mendukung oposisi bersenjata di Suriah, yang bisa memicu eskalasi ketegangan regional dan konflik antara Turki dan Amerika Serikat

24 Desember 2024 - 20:59
Analisis Perilaku Turki di Suriah: Koalisi dengan NATO dan Bermain Api di Damaskus

Banyak pengamat percaya bahwa Turki adalah tulang punggung AS dan NATO dalam perkembangan di Suriah. Sementara itu, sebagian pihak menilai Türki juga melakukan tindakan jalan sendiri.

Dalam konteks ini, majalah Foreign Policy dalam laporan yang ditulis oleh Sinan Ciddi, peneliti senior isu-isu Turki di lembaga think tank, Foundation for Defense of Democracies (FDD) menyoroti dukungan pemerintah Turki terhadap oposisi bersenjata yang mendominasi Suriah di bawah kepemimpinan kelompok teroris Hayat Tahrir al-Sham, dan menyatakan bahwa tindakan Turki menunjukkan dirinya terlalu percaya diri sebagai otoritas negara dan dapat membawa risiko ketidakstabilan ganda di kawasan.

Parstoday melaporkan, Sinan Ciddi dalam laporan ini menyinggung kemajuan pesat perkembangan di Suriah, dengan mengatakan bahwa tampaknya Recep Tayyip Erdogan, presiden Turki berusaha mendominasi masa depan politik Turki di Suriah.

Analis ini juga dalam sebuah artikel yang baru-baru ini diterbitkan di media analisis "1945" yang berbasis di AS, menggunakan frasa "bermain api" tidak cukup untuk menggambarkan tindakan Erdogan di Suriah, dan tindakan ini menimbulkan kekhawatiran bagi pemerintahan baru Donald Trump di Amerika Serikat. Hal ini sangat mengkhawatirkan, karena Erdogan kemungkinan akan memperkenalkan Turki sebagai bagian dari solusi masalah Suriah, yang dapat berisiko semakin mengganggu stabilitas kawasan.

Dukungan Turki terhadap kelompok teroris Hayat Tahrir al-Sham

Menurut laporan ini, tampaknya Ankara sedang mempersiapkan Hayat Tahrir al-Sham untuk merebut kekuasaan di Suriah. Turki menampilkan kelompok tersebut sebagai organisasi yang dapat menciptakan pemerintahan yang birokratis, menjaga hukum dan ketertiban, serta melayani rakyat Suriah yang memiliki keragaman demografi yang tinggi. Inilah sebabnya mengapa Ankara, sebagai anggota aliansi NATO, menawarkan untuk mendukung Tahrir al-Sham dengan senjata.

Menurut analis ini, Erdogan ingin membentuk mekanisme kelompok ini sesuai dengan pandangannya dengan mengendalikan Abu Muhammad al-Jolani, pemimpin Tahrir al-Sham, untuk mencapai tujuan utamanya menghancurkan wilayah otonomi Kurdi di wilayah utara Suriah. Wilayah Suriah ini berada di bawah kendali "Partai Persatuan Demokratik Suriah" dan "Pasukan Demokratik Suriah" yang dikenal sebagai QSD, sebuah kelompok militer yang didukung oleh Amerika Serikat, dan Ankara menganggapnya sebagai ancaman serius.

Tujuan internal

Sinan Ciddi mengatakan bahwa tujuan Erdogan mengintensifkan tekanan terhadap Kurdi sebenarnya untuk mengalihkan perhatian warga Turki dari kegagalan ekonomi pemerintahannya. Laporan menunjukkan bahwa Turki saat ini memiliki antara 16.000 dan 18.000 angkatan bersenjata di Suriah dan memobilisasi pasukan di sepanjang perbatasan dekat Kobani (Ain al-Arab) untuk menghilangkan kendali Partai Persatuan Demokrat Suriah dan pasukan SDF atas wilayah tersebut.

Pada akhirnya, Ciddi menunjukkan kepercayaan diri Erdogan yang berlebihan dan menekankan bahwa strategi agresifnya membawa risiko besar dan berbahaya tidak hanya bagi Suriah, tetapi juga bagi seluruh kawasan. Mengabaikan risiko-risiko ini dapat mengakibatkan konsekuensi jangka panjang yang tidak dapat diatasi dengan mudah.(PH)