Sejalan dengan kebijakan ganda diplomasi dan tekanan pemerintah, Biden mengumumkan akan menjatuhkan sanksi terhadap 35 perusahaan dan kapal yang berperan penting dalam mengangkut minyak Iran ke pasar luar negeri.

5 Desember 2024 - 15:29
Kelanjutan Kebijakan Sanksi dan Tekanan Maksimal Amerika terhadap Iran

Departemen Keuangan AS, yang berperan sebagai ruang perang ekonomi Washington, mengumumkan pada hari Selasa (3/12/2024) sejalan dengan kebijakan tekanan maksimum terhadap Iran: “Hari ini, Amerika Serikat menjatuhkan sanksi baru terhadap 35 perusahaan (entitas) dan kapal yang berperan penting dalam transfer ilegal minyak Iran ke pasar luar negeri. Tindakan .... ini akan menimbulkan lebih banyak biaya pada sektor minyak di negara ini.”

 

Departemen Keuangan AS mengklaim: "Pendapatan minyak menyediakan sumber daya yang diperlukan untuk program nuklir Iran, membantu pengembangan drone dan rudal canggih, dan memberikan dukungan finansial dan material yang berkelanjutan untuk aktivitas pasukan yang berafiliasi dengan Iran."

 

Pada bulan Mei 2018, Amerika Serikat secara sepihak dan ilegal menarik diri dari JCPOA dan menjatuhkan sanksi paling berat terhadap Iran. Pemerintahan Presiden Demokrat AS Joe Biden juga telah memberikan sanksi kepada Republik Islam Iran dengan melanjutkan sanksi tersebut dengan berbagai dalih dan sejalan dengan pendekatan ganda yaitu diplomasi dan tekanan.

 

Tindakan baru pemerintahan Biden bertujuan untuk mengintensifkan tekanan terhadap Iran dalam rangka kampanye Barat yang terorganisir dan terkoordinasi terhadap Tehran dengan sanksi baru Uni Eropa dan Inggris terhadap sektor udara Iran dan pelayaran Iran dengan tujuan mengurangi pendapatan minyak Iran secara signifikan. Selain itu, dengan karyanya ini, Biden telah menanggapi tuduhan Presiden terpilih AS Donald Trump tentang kelalaian pemerintahnya terhadap ekspor minyak dari Iran.

 

Tentu saja, alasan yang diklaim oleh AS untuk sanksi baru ini adalah alasan yang sama, yaitu pendanaan program nuklir, program senjata, dan dukungan untuk kelompok proksi di kawasan. Iran telah berada di bawah sanksi sepihak AS, termasuk sanksi minyak, selama sekitar 44 tahun.

 

Penerapan sanksi anti-Iran pada masa kepresidenan "Donald Trump", mantan presiden AS, setelah menarik diri dari JCPOA dan meluncurkan kampanye tekanan maksimum, memperoleh dimensi baru dan belum pernah terjadi sebelumnya.

 

Washington menjatuhkan sanksi paling berat terhadap bangsa Iran dengan harapan Tehran tunduk pada tuntutan Amerika Serikat yang tidak rasional dan ilegal, yang tentu saja tidak berhasil dan gagal, menurut pemerintahan Biden.

 

Hal yang penting adalah bahwa titik fokus dari kampanye tekanan maksimum Amerika terhadap Iran sejak era Trump adalah mencegah ekspor minyak Iran. Namun, Tehran tidak hanya mampu melanjutkan ekspor minyaknya dengan berbagai metode dan langkah-langkah inovatif, namun juga meningkatkan ekspor ini secara signifikan, seperti yang juga diakui oleh Amerika.

 

Lembaga pemikir Amerika "National Interest" dalam sebuah laporan seraya menyatakan bahwa tren makroekonomi beberapa tahun terakhir menguntungkan Iran, mengumumkan: Menurut laporan Badan Informasi Energi, terjadi peningkatan tajam dalam harga rata-rata tahunan minyak mentah Iran, dari 29 dolar per barel pada tahun 2020, mencapai 84 dolar pada tahun 2022 karena pandemi Covid-19. Karena Amerika Serikat memiliki pengaruh yang terbatas terhadap harga minyak, kenaikan harga telah memungkinkan Iran untuk menjual minyak dan memperoleh lebih banyak keuntungan pada saat yang sama dengan kegagalan pemerintahan Biden dalam menerapkan sanksi.

 

Upaya presiden Amerika, khususnya Donald Trump, adalah menjatuhkan sanksi terberat dan paling ekstensif terhadap Iran untuk menjalankan dominasi dan memaksa Iran menerima tuntutan Amerika Serikat yang ilegal dan tidak logis, termasuk di bidang teknologi nuklir, kebijakan regional, dan kemampuan misilnya. Pendekatan pemerintahan Biden juga merupakan kelanjutan dari pendekatan koersif pemerintahan Trump terhadap Iran yang tentu saja terbukti tidak efektif.

 

Dengan masuknya kembali Trump ke Gedung Putih dan dimulainya masa jabatan periode kedua kepresidenanya, diperkirakan ia akan menerapkan kebijakan yang sama seperti sebelumnya, yakni kebijakan tekanan maksimum terhadap Iran dalam dimensi yang lebih luas; Sebuah kebijakan yang kegagalannya sudah terbukti satu kali pada periode pertama kepresidenan Trump. (MF)