Menurut Kantor Berita Internasional ABNA, menyambut masuknya musim haji, Kantor Berita Internasional ABNA menggelar pertemuan ilmiah “Haji, Simbol Baraah dari Kelompok Penindas” dengan mengundang dua narasumber, Ismail Amin, MA dan Karamah Abu Bakar, MA, keduanya adalah kandidat doktor dari Universitas Internasional Almustafa Iran.
Ustad Karamah Abu Bakar, seorang muballigh Islam dalam penyampaian materinya mengatakan, “Kita berteman, mendukung sesuatu yang seide, seakidah dan sepemikiran dengan kita, ini yang dinamakan dengan tawalli. Dengan sendirinya, ketika ada kata tawalli, maka makna tabarri juga akan ikut menyertainya. Tawalli dan tabarri adalah suatu perkara, yang langsung berkaitan dengan masalah keimanan. Iman tanpa tawalli dan tanpa bara’ah, maka keimanan tidak akan sempurna, sehingga perlu dipertanyakan. Tawalli dan tabarri berkaitan erat dengan hati, yang itu bukan hanya berhubungan dengan makrifat dan pengetahuan saja, tapi juga harus ada mahabbah di dalamnya. Sebuah keniscayaan iman akan selalu ada mahabbah di dalamnya.”
Lebih lanjut, mahasiswa Doktoral Universitas Internaisonal Almustafa Iran ini mengatakan, “Untuk lebih memperdalam kajian kita, bahwa iman harus disertai dengan tawalli dan tabarri, ada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh semua kelompok Islam. Dari Ahmad bin Hanbal dalam Musnad Ahmad, diriwayatkan, bahwa Rasulullah pernah berkumpul dengan sejumlah sahabat, dan ia bertanya kepada sahabat-sahabatnya, “Apakah tali yang mengikat iman itu?” Diantara mereka ada yang menjawab, salat, puasa, zakat dan haji. Rasulullah menafikan semua jawaban tersebut. Sehingga mereka berkata, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” dan bertannya, “Kalau begitu apa yang mengikat iman itu ya Rasulullah?”. Rasulullah menjawab, “Tali yang mengikat iman itu adalah, cinta dan benci karena Allah.”
“Inilah bentuk keimanan seseorang. Seseorang yang mengimani seseorang, tidak mungkin membenci apa yang dicintai, dan mencintai apa yang dibenci oleh yang diimani tersebut. Seseorang yang mengaku mencinta, tapi berpesta dan bersenang-senang dengan yang dibenci oleh yang dicintai, maka sesungguhnya itu bukan cinta yang sesungguhnya. Perlu dipertanyakan bentuk cinta yang demikian.” Tambahnnya.
“Makanya dalam sejarah, baraah pada orang-orang kafir dan orang-orang musyrik, ini diperintahkan langsung oleh Allah Swt kepada Nabi Muhammad saw. Proklamirkan, bukan sekedar dalam bentuk penyampaian sederhana, tapi maklumatkan. Itu disampaikan pada akhir tahun 9 H, saat turun surah Baraah. Sehingga Rasulullah saw mengumumkan berlepas diri atau baraah dari orang-orang musyrik yang disampaikan pada musim haji.” Lanjutnya.
Dia berkata: “Baraah diterima semua orang. Tapi yang ditekankan disini adalah, pernyataannya. Yaitu harus dinyatakan secara terang-terangan dan terbuka. Semua muslim pasti berusaha menjauhi yang dilarang dan dibenci Allah swt dan melakukan apa yang diperintahkan-Nya. Tapi dalam baraah ini, kita diminta menyatakan secara resmi. Ini yang harus dilakukan, karena itu Allah memerintahkannya dilakukan dimusim haji. Sampaikan itu dimusim haji, sampaikan bahwa sejak hari ini pertemanan sudah tidak ada, dan umat Islam berlepas diri.”
Dia melanjutkan: “Momen haji harus benar-benar dimanfaatkan. Meski memang harus diakui, terjadi ikhtilaf dalam penerapannya, terlebih lagi jika dikaitkan dengan siyasah (politik). Ini yang menjadi perdebatan. Sebagian kelompok ada yang tidak ingin mencampur adukkan ibadah haji dengan politik apapun, ia murni ibadah ritual. Sementara dalam fikih Syiah, haji tanpa baraah yang bukan haji namanya. Karena itu kita bisa melihat pada musim haji, para jemaah haji Iran melakukan baraah secara massif, dengan pernyataan berlepas diri dari orang-orang kafir dan musyrik.”
Dia mengatakan: “Baraah ini, pada momen-momen sekarang sedemikian penting. Bagaimana kita bisa melihat, kaum muslimin tertindas di Palestina. Dan mesti kita tegaskan, berlepas diri pada orang kafir, tidaklah yang dimaksudkan kepada semua orang kafir melainkan ada pengecualian, sebagaimana disebutkan dalam surah Mumtahanah. Yang kita baraah terhadap mereka, berlepas diri dan tidak bekerjasama dengan mereka adalah mereka yang memusuhi kita. Bahkan dalam Al-Qur’an, Allah Swt mengamcam dengan azab yang pedih bagi mereka yang bekerjasama dengan mereka dalam memusuhi Islam, dan terhitung masuk dalam golongan mereka. Ini bukan sesuatu yang bisa disepelekan. Fenomena hari ini, masalah tawalli dan tabarri ini banyak dilupakan orang. Orang berpikir, derajat mukmin sudah bisa dicapai dengan ibadah dan akhlak yang baik. Sementara, bagi Rasulullah derajat keimanan yang sempurna itu hanya bisa dicapai setelah dengan sepunuhnya menjalankan yang diperintah Allah dan menjauhi apa yang dilarang dan yang dibenci-Nya.”
Ustad Karamah menambahkan: “Contohnya, ketika ada seorang publik figur memosting di media sosial, fotonya yang sedang selfi memegang minuman starbucks dengan latar belakang Kabah. ini dia lakukan saat sedang mengadakan umrah. Meski ini tampak sederhana, dan bagi sebagian orang bukan sesuatu yang perlu dipersoalkan, namun ini telah menunjukkan kualitas keimanan seseorang. Untuk hal sederhana yang bisa kita lakukan, ketika ada dari saudara kita yang mendapat permusuhan hebat dari suatu kelompok, maka sebagai bentuk loyalitas kita pada saudara kita, adalah tidak bangga atau bersenang-senang dengan sesuatu yang menjadi ikon bagi kelompok yang memusuhi saudara kita itu. Tapi bagi sebagian orang, ini adalah hal yang ringan saja. Sekedar lelucon atau sesuatu yang bisa dipermainkan. Persepsi dan sikap seperti ini sudah ada sejak dizamannya Rasulullah. Yaitu orang-orang munafik telah memperolok-olok Rasulullah dan orang-orang yang beriman. Bagi mereka itu hanyalah senda gurau saja. Tapi bagi Allah itu menunjukkan kuallitas keimanan mereka. Bahwa mereka pada hakikatnya tidaklah beriman dengan pelecehannya itu. Mengaku beriman pada Allah, tapi tidak hormat bahkan memandang rendah Rasulullah yang menjadi pilihan Allah, itu sama saja mengolok-olok Allah Swt.”
Pada bagian akhir dia mengatakan: “Baraah tidak hanya berlaku pada musim haji saja, tapi itu hanya momen. Bahwa di musim hajilah, baraah ini terang-terangan kita sampaikan pada dunia. Bahwa klta berlepas diri dari musuh-musuh Islam. Jika kita masih menjalin hubungan dengan musuh, itu hakikatnya bertentangan dengan keimanan itu sendiri. Baraah bukan hanya dilakukan oleh Rasulullah Muhammad saw, namun juga telah dilakukan oleh Nabi Ibrahim ketika melaksanakan hajinya. Yaitu Nabi Ibrahim as berlepas diri dari kaum musyrikin.”